Oleh : ZULKIFLI, M.Kom, Dosen Universitas Almuslim Peusangan
Reportase ini berisi pengalaman saya saat menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) pada program Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) Universitas Almuslim Peusangan, Bireuen, di Kecamatan Mesidah, Kabupaten Bener Meriah.
Saat jadi DPL sekaligus pendamping rombongan saya berangkat bersama mahasiswa ke lokasi pengabdian. Seusai acara pelepasan di Kantor Bupati Bener Meriah, kami naik bus Cenderawasih ke kecamatan yang dituju. Setelah mendapat aba-aba dari Kepala Bapel KKM Umuslim, Drs Syarkawi MEd, bus yang penuh penumpang itu bergerak meninggalkan Kantor Bupati Bener Meriah menuju Kecamatan Mesidah.
Sesampai di Simpang Tiga Redelong, ibu kota Kabupaten Bener Meriah, kami berhenti untuk makan siang dan shalat Zuhur. Sebelum berangkat, Camat Mesidah berpesan agar semua penumpang makan siang terlebih dahulu, karena di daerah Mesidah tak ada warung. Maklum, wilayahnya masih terisolir dan terpencil jauh ke pelosok gunung.
Lokasi saya DPL ini berada di Kecamatan Mesidah, salah satu kecamatan baru di Bener Meriah. Ibu kotanya Wer Tingkem. Kecamatan ini hasil pemekaran dari Kecamatan Syiah Utama. Luasnya lebih kurang 286,80 km2. Mata pencaharian penduduknya berkebun kopi dan sayuran-sayuran. Kawasan ini termasuk salah satu kecamatan yang masih tertinggal.
Setelah makan siang dan istirahat di warkop Simpang Tiga Redelong, kami lanjutkan perjalanan ke Mesidah melewati Pondok Baru. Kondisi jalannya masih mulus. Setelah melewati Pondok Baru tampak aspal di beberapa titik keriting dan terkelupas. Selama lebih kurang 35 menit dari Pondok Baru, hujan rintik-rintik menemani perjalanan kami. Angin yang sejuk dari AC alam menusuk masuk melalui jendela bus yang mulai keropos. Para mahasiswa yang mengenakan jaket almamater mulai merasa kedinginan.
Dari Pondok Baru ke Mesidah hanya ada satu akses jalan. Kanan kirinya dibatasi tebing dan hamparan kebun kopi. Rombongan kami harus melewati titi yang diberi nama Titi Kanis. Mirip jembatan bailey yang dibangun TNI. Jalannya menurun dan sangat curam. Semua penumpang disuruh turun sopir dari bus. Kami berjalan kaki sekitar 15 menit sampai melewati Titi Kanis.
Lokasi titi ini sangat angker, jauh dari perkampungan penduduk, apalagi kalau hujan, jalannya licin. Selain sepi, kawasan ini juga sering berkabut. Suara gesekan pohon bambu yang tumbuh lebat di sepanjang alur titi menambah kesan angker. Untung kami tak lewat malam hari di titi ini.
Memasuki wilayah Mesidah memang sangat kontras bedanya dengan wilayah pesisir Aceh yang hingga tengah malam pun warung kopi atau kafe masih buka. D sepanjang jalan menuju Mesidah ini yang ada hanyalah hamparan rimbunya tanaman kopi diselinggi pohon lamtoro gung, labu jepang, dan alpukat. Lebih kurang satu jam perjalanan, sampailah kami di Kantor Camat Mesidah. Kami sudah ditunggu masing-masing reje (kepala kampung).
Raut wajah penumpang bus yang tadinya ceria kini berubah lesu tanda kecapaian. Setelah acara perkenalan dengan para reje, mahasiswa pun dibawa ke lokasi penempatan masing-masing oleh sang reje.
Tibalah giliran kelompok mahasiswa yang ditempatkan di Amor. Kampung ini berada di Kemukiman Tungkuh Tige, terdiri atas tiga dusun: Jeroh Miko, Musara Ate, dan Simpang Tulu. Kampung ini bertetangga dengan Cemparan Lama, Cemparan Jaya, Buntul Gayo, dan Gunung Sayang. Luasnya lebih kurang 11,32 km2.
Mahasiswa KKM yang ditempatkan di Amor berjumlah sepuluh orang(tiga cowok, tujuh cewek). Sebagai DPL saya mengantar mereka sampai ke lokasi. Dari kantor camat saya naik minibus L300 pikap 4 gerdang yang telah disiapkan reje. Perjalanan ke Kampung Amor teryata lebih gawat lagi. Jalannya masih beralas tanah dan berlubang. Aspalnya keriting dan banyak yang terkelupas. Topografinya mendaki, menurun, dan banyak sekali jurang di sepanjang perjalanan.
Sesampai di lokasi penempatan, yakni di kantor reje, hujan rintik-rintik. Langit pun mulai ditutupi kabut putih. Jarum jam menunjukan pukul 18.00 WIB lewat. Suara petir menggelegar. Sesekali angin bertiup kencang. Udara dingin mulai menusuk setiap relung tubuh, sehingga sore itu pun giliran mandi sore terlewatkan begitu saja. Dan, karena situasi semakin gelap akhirnya saya putuskan untuk bermalam di Amor. Tak mungkin lagi saya kembali ke Bireuen.
Bakda shalat Isya, kami tak langsung tidur, melainkan duduk berbincang bersama Pak Reje, Ibu Reje, dan beberapa tokoh masyarakat. Sambil kami memperkenalkan diri satu per satu, reje dan warga setempat menjamu kami dengan kopi panas, gorengan, dan bakong ijo (tembakau khas Amor) persembahan warga. Beberapa warga bahkan memimjamkan kami peralatan masak dan alas tidur. Semua ini makin menambah kehangatan persaudaraan pada pertemuan pertama kami di Amor, nama yang diadopsi dari nama Dewa Asmara dalam mitologi Yunani.
Perasaan capek sejak siang kini berubah menjadi kehangatan karena kami disambut penuh kekeluargaan di malam yang dingin ini. Tanpa terasa perbincangan pada malam pertama di Amor memakan waktu hampir tiga jam. Perbincangan yang mengasyikkan dan menghanyutkan. Jarum jam terus berjalan, embusan angin dingin tak kunjung berhenti. Persahabatan yang baru terjalin pun terus mengeluarkan aroma harum, seharum wanginya aroma seduhan kopi Gayo. Malam pun semakin larut, hawa dingin terus merangsek ke setiap kain yang membalut tubuh kami.
Malam pertama di Amor menjadi kenangan tersendiri bagi saya dan mahasiswa yang ditempatkan di kampung ini. Ada anggota kelompok mahasiswa yang tak bisa memejamkan mata malam itu karena tidak terbiasa dengan dinginnya malam hari, meskipun balutan selimut dan jaket begitu tebal menutupi seluruh tubuh. Dinginnya udara Amor malam itu membuat tubuh terasa membeku.
Malam itu jarum jam menunjukkan pukul 24.00 lewat, akhirnya Pak Reje dan beberapa warga pamit pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Kami juga beristirahat dan bergegas untuk bobok, tanpa menghiraukan segala aksesori yang ada pada pakaian dan tubuh. Masing-masing kami merebahkan badan di atas tikar dan ambal yang diberikan reje. Lokasi tidurnya pun sudah dikapling-kapling. Mahasiswi tidur di dalam ruang kantor yang telah disulap jadi kamar bercorak minimalis alami, sedangkan mahasiswa tidur di balai depan kantor yang menjadi istana sementara bagi peserta KKM Umuslim.
Alas tidur hanya lembaran tikar dan ambal, sedangkan bantal disulap dari gumpalan kain dan tas yang dibentuk menyerupai bantal. Semua perlengkapan tersebut seakan-akan pelaminan kasab emas yang dipakai saat prosesi pesta adat perkawinan untuk dipersembahkan kepada seorang permaisuri. Beralaskan tikar dan ambal sederhana sebagai pengganti springbed, tanpa terasa proses perjalanan bobok malam pertama ditemani embusan angin malam puncak Amor begitu kencang, sempat mengkhawatirkan ternganggunya perjalanan tidur kami. Kondisi itu ternyata bukan hambatan, buktinya semua kami akhirnya tertidur di puncak Amor.
Subuhnya cuaca terasa semakin dingin. Kokok ayam dan gonggongan anjing di pagi itu tidak terdengar. Saat satu per satu kami bangun untuk shalat Subuh, badan rasannya sangat berat bangkit dari tempat tidur. Suhu dingin bagai memenjara kami di tempat tidur. Tapi saya pikir, ini pasti ulah iblis yang menggoda kami agar lalai dari kewajiban shalat Subuh.
Akhirnya, dengan “tendangan 12 pas” saya bangkit mengalahkan godaan iblis dan langsung bergerak ke kamar mandi untuk berwudhuk. Saat semuanya bangun dari tempat tidur saya perhatikan hampir semua mahasiswa mengenakan dua lapis jaket, seperti gaya orang hendak ke kebun. Di leher mereka terlilit kain sarung, bagaikan syal.
Setelah shalat Subuh dan sarapan pagi, saya akhirnya pamit untuk kembali ke Bireuen. Saya tinggalkan para mahasiswa Umuslim untuk melaksanakan KKM selama 29 hari ke depan di Kampung Amor dan sekitarnya. Saya bayangkan, bukan tantangan kerja nyata di siang hari yang berat bagi mereka, tapi justru sergapan hawa dingin di malam hari yang justru lebih berat.
Semoga semua mahasiswa kami mampu bertahan di Amor, desa dengan perlambang cinta yang membara, tapi dilingkupi udara yang demikian dinginnya. Nah, Anda ingin menikmati dinginnya cuaca di gunung yang perawan dan suasana pagi dengan mulut berasap? Silakan datang ke Amor.
Cerita ini pernah tayang di http://aceh.tribunnews.com/ pada tanggal 22/04/2019 di Rubrik Jurnalisme Warga dengan judul Asyiknya-malam-pertama-di-Amor.