OLEH AL FURQAN ISMAIL, Mahasiswa Prodi Bahasa Inggris FKIP Universitas Almuslim Peusangan, Bireuen, sedang mengikuti program pertukaran mahasiswa di Nagoya Gakuin University, melaporkan dari Nagoya, Jepang
Saya salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang cukup beruntung karena dapat mengikuti program pertukaran pelajar ke Jepang, Program ini merupakan hasil kerja sama (MoU) antara Universitas Almuslim (Umuslim) dan Nagoya Gakuin University (NGU) Jepang.
Selama ikut kuliah di sini banyak pengalaman yang luar biasa karena bisa belajar dengan mahasiswa dari berbagai negara di dunia. Soalnya, Kampus Nagoya Gakuin University telah berkerja sama dengan kampus dari berbagai negara, seperti Amerika, Kanada, Korea Selatan, Filipina, Thailand, Cina, Taiwan, dan lain-lain. Secara tidak langsung saya tak hanya belajar budaya Jepang, bagaiamana cara hidup di Jepang dan bersosialisasi dengan orang-orang Jepang, akan tetapi juga bersosialisasi dengan mahasiwa asing dari berbagai negara di dunia.
Untuk angkatan ini Umuslim mengirim dua mahasiswa, saya dan Bilal Faranov, dari Prodi Hubungan International (HI) Universitas Almuslim,. Kami belajar di Nagoya Gakuin University Jepang selama setahun dan Umuslim sudah mengirim tiga angkatan kuliah di NGU Jepang.
Selama di Jepang kami sempat mengamati kemajuan Jepang dari berbagai sektor. Yang sangat saya kagumi adalah kedisiplinan mereka yang sangat luar biasa dalam menghargai waktu. Hal ini masih sulit untuk bisa saya samai. Juga etos kerja orang Jepang sangat profesional,. Mungkin tidak ada kata ‘baper-baperan’ dalam mereka bekerja, hal yang justru masih sering terjadi di negara kita sehingga hilangnya profesionalisme dan menjadi tidak efektif dalam berkerja. Orang Jepang juga sangat loyal terhadap perusahaan tempatnya berkerja.
Salah satu pengalaman yang sangat menarik adalah ketika saya dan Bilal berkunjung ke salah satu rumah sahabat kami di Jepang, namanya Shunichi. Dia mahasiswa NGU yang pernah kuliah di Universitas Almuslim tahun lalu, sebagai perwakilan pertukaran mahasiswa NGU ke Universitas Almuslim selama satu semester.
Dia mengajak kami berkunjung ke rumahnya dan menginap dua malam. Saya sangat senang bisa melihat dan merasakan langsung cara mereka menyambut tamu (peumulia jame) ala Jepang. Sebenarnya orang Jepang jarang mengajak orang asing ke rumahnya, apalagi sampai menginap, kecuali sudah sangat dekat.
Awalnya, saya mengira akan sangat kaku jadinya ketika bertemu dengan keluarganya, karena keterbatasan bahasa Jepang kami yang masih belum terlalu lancar. Akan tetapi perasaan waswas kami sontak berubah ketika saya bertemu dengan keluarganya yang ternyata begitu ramah.
Pada hari pertama kami tak sempat makan malam dan berkumpul bersama tuan rumah, karena kami tiba di rumah tersebut sudah malam sepulang kami dari part time job sekitar pukul 12 malam.
Pertemuan dengan tuan rumah terjadi esok harinya, yaitu kami bertemu oba chan (nenek) yang sudah mepersiapkan sarapan pagi untuk kami. Dengan ibu Shunichi kami tak sempat bertemu karena ia sudah berangkat kerja pada waktu subuh sebagai perawat.
Sang nenek sangat antusias ketika kami memperkenalkan diri dan dia pun memperkenalkan dirinya dengan sangat lucu walaupun tidak semua kata-kata yang beliau ucapkan kami mengerti. Senyumannya yang khas menyapa dengan sopan tapi tetap dengan humor yang membuat suasana mencair dan tidak kaku.
Pas pagi itu setelah kami bangun, sarapan sudah terhidang di atas meja cukup banyak. Ibunya Shunichi ternyata sudah mempersiapkan semua makanan sebelum berangkat kerja dan meminta nenek untuk melayani kami. Sang neneklah yang menjelaskan setiap makanan khas Jepang yang dihidangkan untuk kami. Semua dimasak sendiri dan keluarga Shunichi tentunya sudah tahu bahwa kami muslim. Otomatis tak boleh makan babi dan minum osake (arak Jepang). Soalnya, merupakan kebiasaan orang Jepang menyediakan osake untuk minuman khas melayani tamu.
Karena Shunichi sudah menjelaskan bahwa kami muslim maka semua makanan yang dihidangkan hanya ikan, sayuran-sayuran, dan ada ayam halal yang dibeli di toko halal food. Sedangkan minumannya hanya berupa jus dan cola.
Sambil bercanda dan tawa lucu nenek dengan kata-kata yang kurang kami pahami, seakan cukup mengerti tentang suasana jiwa muda kami, dia mengakrabkan diri berbicara dengan bahasa Jepang dalam suasana seperti anak milenial. Nenek berbicara sambil melucu agar kami senang dan gembira. Saya dan Bilal hanya mengucapkan “haik, haik” saja sambil menganggukkan kepala seolah mengerti. Nenek juga tak sungkan berfoto bersama kami bahkan selfi seolah masih muda.
Saking antusiasnya nenek mengajak kami keliling rumah untuk melihat seluruh lukisannya di masa muda yang dipajang pada beberapa sisi dinding rumah. Lalu dengan gaya melucu dia jelaskan semua hasil karyanya tersebut. Nenek ini ternyata memiliki bakat melukis sejak kecil. Dia seniman, banyak karyanya yang dipamerkan di Museum Nagoya, tetapi sekarang sudah tak lagi melukis.
Selain itu, ibunya Shunichi juga memberikan uang kepada anaknya untuk mentraktir kami dan mengajak kami jalan-jalan ke Kota Okazaki dan ke beberapa tempat wisata pantai lainnya. Meski belum kenal, ibunya seakan ingin memberikan yang terbaik bagi kami sebagai tamunya.
Selama bertamu di rumahnya, ibu Shunichi menginginkan kami tak boleh mengeluarkan uang sepeser pun. Beliau benar-benar menganggap kami tamu spesial. Ini sungguh keluarga yang sangat perhatian dalam melayani tamunya dengan baik dan menyenangkan. Dua hari kami di rumah Shunichi seolah seluruh kebutuhan kami menjadi tanggung jawab mereka.
Kami juga dibawa berwisata ke Okazaki, kota yang sangat terkenal dengan keindahan sakuranya. Kebetulan hari itu bertepatan dengan perayaan hanami sakura pada musim semi. Pagi itu kami kami mengunjugi Okazaki Castel yang cukup terkenal dengan tamannya yang sangat luas dan dipenuhi bunga sakura yang baru mekar.
Saat menikmati perayaan hanami sakura tersebut kami diberikan kebebasan untuk menikmati jajanan khas Jepang yang dijual di taman tersebut. Kami bebas mau makan apa pun karena kami telah ditraktir sahabat tersebut atas perintah ibunya sebelum berangkat kerja.
Di taman tersebut banyak sekali orang berkumpul bersama keluarganya merayakan hanami sambil menggelar tikar di bawah pohon-pohon sakura yang sedang mekar. Mereka duduk makan bercabda ria bersama keluarga mereka sambil menikmati keindahan bunga sakura. Anak-anak kecil berlari ke sana kemari dengan cerianya. Sungguh pemandangan yang sangat indah bagi saya yang belum pernah meilhat sakura bermekaran dan untuk pertama kalinya melihat perayaan hanami di Jepang yang mirip meuramin kalau di Aceh.
Setelah seharian kami berkeliling Kota Okazaki, malam hari kami kembali ke rumah sekitar pukul 8 malam. Sesampai di rumah orang tua Shunichi, lagi-lagi telah disiapkan semuanya untuk menyambut makan malam kami. Walaupun sebetulnya kami masih sangat kenyang karena seharian jalan dan jajan, tetapi tuan rumah masih tetap menyediakan makan malam yang wah buat kami.
Kali ini ketika kami tiba di rumah, ibu, ayah, dan nenek Shunichi sudah berada di rumah lebih dulu, kecuali adik perempuannya yang masih ikut latihan sepak bola dan belum pulang. Kami disambut di meja makan yang sudah penuh dengan hidangan khas Jepang, sepeti sushi, sashimi, nato, dan sebagainya. Ibu dan ayahnya sangat antusias dan bertanya banyak tentang Indonesia. Mereka juga berencana akan ke Indonesia, khususnya Aceh, suatu saat nanti sekeluarga.
Malam itu ibu dan neneknya juga sempat mengajak kami pergi ke bilik karaoke keluarga, karena neneknya suka menyanyi. Tapi saking asiknya kami mengobrol di rumahnya sehingga tanpa terasa waktu sudah larut malam, sehingga rencana ke karaoke tidak jadi. Lagian kami sudah cukup lelah karena jalan seharian. Akhirnya nenek mencoba menghibur kami dengan bernyanyi di rumah saja dengan nyanyian lagu nostalgia Jepang. Dia juga mengajak dan mengajar kami bernyanyi sambil melihat teks yang ada. Kami pun menyanyikan bersama lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Setelah selesai bernyanyi, nenek meminta kami menyanyikan lagu Indonesia dan kami pun memilih lagu Indonesia Raya. Begitulah malam tersebut mengalir tanpa ada kecanggungan sama sekali antara kami dan keluarga Shunichi.
Sebelum kami ke kamar tidur untuk istirahat, ibunya bertanya tentang cita-cita kami dan setiap kami diberikan selembar kertas dan spidol kami disuruh untuk menulis nama kami dan menulis cita-cita kami. Saya dan Bilal serta Shunichi menuliskan apa cita-cita kami. Setelah selesai, ibunya meminta kami menandatangani kertas yang sudah bertuliskan cita-cita dan setiap harapan kami di masa depan. Kemudian, ibunya mengambil sampul plastik dan menyampul setiap lembaran kertas kami dengan sampul tersebut. Sungguh saya tak mengerti apa maksudnya.
Ternyata setelah itu dia tempelkan lembaran-lembaran kertas tadi di dinding rumah yang berada di ruang keluarga sembari mengatakan semoga cita-cita dan harapan kalian tercapai. Tapi nanti ketika kalian sudah berhasil jangan lupa untuk berkunjung lagi ke rumah ini karena kalian sudah seperti bagian dari keluarga ini. Saya pun terharu ketika beliau berkata seperti itu.
Besoknya kami pulang ke asrama kampus. Lagi-lagi sudah disiapkan sarapan di meja makan. Ada roti bakar, salad, dan buah-buahan. Kami tak boleh pulang sebelum menghabiskan seluruh makan yang dihidangkan. Begitu ditegaskan nenek Shunichi. Karena terlalu banyak, makanan tersebut tak habis, lalu ibu Shunichi memotong beberapa buah yang tak sempat kami habiskan dan membungkusnya untuk bekal kami di perjalanan. Setelah itu kami di antar ke depan rumah dan ketika kami hendak berangkat naik mobil, ibu dan nenek membuka jendela lalu melambaikan tangan kepada kami yang sudah berada di dalam mobil sebagai tanda perpisahan.
Sungguh pengalaman menarik dan sangat membahagiakan. Begitulah cara keluarga Jepang memuliakan kami sebagai tamunya. Dalam beberapa hal, mirip seperti cara orang Aceh memuliakan tamu yang datang ke rumah mereka
Cerita ini pernah tanyang di http://aceh.tribunnews.com tanggal 27/04/2019/04/ dengan Judul Peumulia Jamee ala Jepang